Jumat, 07 Desember 2007

it’s a never ever

Aku adalah penulis yang insidental. Aku menulis ketika sesuatu mengganggu pikiranku, baik itu berupa kata-kata yang terdengar mengusik, sesosok bayangan yang melintas, dan mimpi-mimpi yang menggoda hasratku yang tiba-tiba tumbuh ketika bunyi dengusan dibalik bilik kamarnya.

Inilah tulisanku yang pertama, namun kuharap ini bukan yang terakhir. Karena cita-cita ini bukan milikku, ada beribu kepala menungguku menjadi penulis terkenal. Namun akupun ingin hidup lebih berarti, seperti saat kalian membaca tulisan ini. Agar kalian bisa merasakan hidup ini punya arti, dan tahukah kalian apa yang lebih berarti? Yang lebih berarti adalah mengetahui bahwa hidup ini adalah sekarang. Yah, sekarang saat kalian membaca tulisan ini, sekarang saat aku membaca kembali tulisanku sendiri.

Aku memberinya judul “it’s a never ever”. Karena ada dalam keyakinanku saat ini, bahwa ini tak akan pernah terjadi. Menjadi penulis terkenal, membahagiakan semua orang dengan tulisan, atau mengukir sejarah dunia sastera. Yah, ini sesuatu yang ‘sangat’ tidak mungkin. Tidak mungkin untuk aku bersuka ria mencaci dalam kata, menghujat dalam kalimat, bahkan aku tidak mungkin berpesta pora dengan para binatang yang bermain dalam film-film.

Baiklah, aku akan mulai cerita, karena aku yakin kalian membaca tulisan ini karena ingin membaca suatu cerita. Ini cerita tentang kita, tentang sesuatu yang sederhana, tentang yang terjadi dalam keseharian kita.

Syahdan, disebuah negeri yang makmur loh jinawi, tenteram, aman dan sejahtera. Sebenarnya aku ingin menambahkan kata adil dalam cerita ini, namun aku yakin kalian akan berpikir lain tentangku. Negeri ini diperintah oleh sosok pemimpin yang dicintai rakyatnya, tauladan yang kharismatik dan dapat dipercaya. Aku yakin kalian tak akan mempercayainya, karena kalian tak pernah merasakan suasana seperti ini.

Negeri itu memiliki segala sesuatu yang dibutuhkan. Buah-buahan yang beraneka macam rasa dan aroma, sayuran yang hijau dan menyegarkan, aneka macam hasil pertanian yang tersebar di ladang-ladang dan pesawahan yang subur makmur. Kolam-kolam ikan yang berisikan warna-warni jenis ikan. Atau apakah perlu aku tambahkan sebuah pemandangan lembah yang indah diantara perbukitan dibelah mulusnya jalanan menuju villa-villa peristirahatan.

Tapi disana tak ada mall, diksotik atau bayanganmu tentang cafe-cafe yang eksotik. Disana hanya ada warung-warung sederhana ditepi jalan. Yah, memang mirip Angkringan yang ada di Jogja, namun ini tak seterkenal Angkringan dan tetengbengek budayanya. Warung pinggir jalan itu sangat sederhana, namun aku menjamin bila kalian hadir disana akan mengalami nuansa yang lain dibanding warung-warung lain dimuka bumi ini.

Wajar negeri itu bila dijadikan tempat tujuan wisata masa depan. Disana kalian akan mendapatkan apa yang tak dapat kalian temukan di negeri kalian yang sumpek, negeri kalian yang kotor dan penuh penyakit. Aku menjamin dengan jiwaku sendiri, kalian aman disana. Tak ada wabah yang membuat kalian harus membatasi pergaulan, tak ada isolasi yang diakibatkan bibit penyakit sedang tumbuh subur, dan yang pasti kalian akan sehat, kuat dan bugar.
Di negeri itupun tak akan kalian temukan orang-orang yang minta-minta. Karena masyarakat sudah memiliki apa yang mereka butuhkan. Namun, kalian jangan membayangkan perut-perut penduduk negeri itu buncit-buncit seperti anggota dewan di negeri kalian yang mabok anggaran negera. Atau membayangkan orang-orang kaya menumpuk hartanya digudang-gudang, di bank-bank riba dan berpesta pora menghabiskan kekayaan hasil merampok uang rakyat.

Mereka sangat bersahaja, atas kebutuhan yang sudah terpenuhi, atas hajat yang tersalurkan, mereka menerima apa yang telah menjadi hak mereka. Saling tolong menolong antara anggota masyarakat yang mebutuhkan adalah kesenangan yang telah mendarah daging pada diri mereka. Tepo seliro dan saling berusaha untuk membahagiakan satu dengan lainnya dapat kalian saksikan bila suatu saat nanti berkunjung ke negeri itu. Kebebasan yang bertanggung jawab, toleransi atas keberagaman serta tenggang rasa telah menjadi bagian cara hidup mereka.

Kalian pasti bingung, dimanakah negeri itu berada?. Karena kalian belum pernah menemui sebuah negeri seperti itu, kan?.

Aku tak akan begitu saja memberitahukan tempat itu berada. Kalian bukanlah tipe orang yang bisa dipercaya, yah seperti karakter bangsamu yang mulai keropos dari sifat-sifat moral yang standar sekalipun. Bila kuceritakan, kalian tak akan membiarkan negeri itu aman, nyaman, tenteram dan bersahaja seperti saat ini. Kalian akan mencoba mengusik dengan berbagai cara, meracuni kondisi masyarakat dengan pola pikir yang tak bertanggung jawab.

Seperti saat kalian hancurkan negeri kalian sendiri, dengan berbagai tipu daya logis. Pola pikir bebas yang kebablasan dan tak bertanggung jawab. Lalu kalian berpesta pora diatas himpitan eknomi yang mendera rakyat. Dan menina bobokannya dengan tayangan-tayang hiburan syahwati, program bantuan yang tak mendidik, dan program-program pembangunan yang salah sasaran.

Maaf, aku terlalu berlebihan. Sepertinya pembahasankan kita mulai menyimpang, dan salah arah.

Kalian masih ingin membaca cerita kelanjutannya?. Aku sarankan kalian untuk menghentikan membaca tulisan ini, karena aku yakin kalian tidak akan mendapatkan apa-apa dari tulisan ini. Tak ada makna filosofis yang akan kalian ambil dari cerita ini. Akupun sebenarnya ingin menghentikan tulisan ini, karena aku beranggapan bahwa apa yang aku tulis tidak akan pernah terjadi. Lebih-lebih tulisan ini mungkin akan membuat kalian muak.

Oke, aku akan akhiri cerita ini dengan puisi. Kalian tahukan puisi? Yah seperti syair-syair yang dilantunkan para penyair terkenal itu. Karena kata beberapa cerpenis, menggabungkan cerita dengan beberapa bait puisi akan memberikan nuansa yang lain. Seperti ada percikan-percikan yang menghanyutkan perasaan kita, sehingga mendayu-dayu, terbang kealam khayal, meninggalkan mayapada yang mulai membosankan serta menikmati sensasi alam lain yang tak nyata.

Aku beri judul puisi ini “ladang sunyi”. Maaf bila aku hadirkan puisi ini dengan 2 bagian. Aku sebenarnya tak ingin benar-benar menjadikannya dua bagian, hanya sepertinya itu bagus. Yah, aku memang penulis karbitan. Yang penting terlihat bagus dan membuat hatiku nyaman. Oke, aku tak mau berbelit-belit inilah puisiku yang akan sekaligus menutup cerita ini. Maafkan bila kalian tak menghendaki...

Ladang sunyi I

Hampir-hampir jiwaku kering seperti ranting
Karena tak sepatah kata pun berbaris di putih kertasku
Aku terpana,
umbu tolong aku!

Kulihat kunang-kunang dilangit
Haruskah ku tulis?

Aku pemilik dari seribu mata pena
Aku bahkan memiliki beratus keyboard untuk menetaskan lebih dari jutaan karakter kata yang kini sedang ku erami di kepalaku.

Aku telah beribu hari disini
Ditempat yang dulu sunyi
Ranting patah, daundaun berguguran, angin sepoi-sepoi
Haruskah ku tulis?

Aku telah koma dalam hitungan milyar detik
Kertas-kertas kosong, mata pena meruncing tak berpindah ukuran

Aku telah berputar dari telukbetung sampai tanjungkarang
Telah kususuri segala way dari sekampung, seputih, tulang bawang mengalir
menyatu dalam rengkuhan laut jawa.
Haruskah ku tulis?

Aku memang bersunyi diladang

Aku telah menanam lada dan menjadi beton-beton yang ku tancap diladang-ladang yang sunyi
Berhektar kopi adalah investasiku untuk memoles pekon dengan ribuan tiang penangkap wajah-wajah dalam kotak
Haruskah ku tulis?

Aku menemukan banyak negara disini
Negarabatin, negerisaka, negararatu, adakah negarawan disini?
Ada peperangan!

Aku telah berhari-hari merobek malam
Dan aku lelah dipersimpangan, tak kutemukan kata!
Aku harus menulis!
Ada ribuan kertas dan mata pena yang hampir sekarat, kelaparan.

Tiba-tiba
Ruhku melesat menembus gelap
Ladang sunyi II

Yah, aku bisa melihat ke segala arah
Ini akan kutulis!
(namun takkan kuceritakan
padamu yang sunyi tak bermentari
terlalu sepi dan tak bisa dimengerti
mengapa tak ada yang punya rasa harga diri
untuk tak mengobral janji
tentang kemakmuran,
dan tanah yang hilang sejak jaman penjajahan,
bahkan aku tak bisa memahami
atas segala intrik yang begitu berani
tentang perebutan kekuasaan
para pemilik modal yang menjual keringat rakyat jelata, kemudian berpura-pura memperjuangkan sebuah kemerdekaan
dari cengkeraman pusat yang semena-mena,
padahal hanya memanfaatkan momentum suci sebuah kursi.)

ah, tak sengaja!
Lidah tak bertuan telah memperkosaku untuk menghabiskan mata pena.

Ini kata tak berjiwa, sebuah rangkaian huruf yang memadu kasih
Mengucap tanpa makna
Sekedar pelipur lara sang pujangga mimpi (e-antologi puisi SENsasI, 2006)


Bumi kedaton, januari 2007








Tidak ada komentar: